Dampak negatif emisi dari kapal bukan hanya dari karbon dioksida (CO2). Menurut konsensus Marine Environment Protection Committee (MEPC) di tahun 2007, kontribusi CO2 dari emisi perkapalan secara global hanya 3 persen atau 843 juta ton.
Akan tetapi, hasil pembakaran bahan bakar kapal juga mengandung sulfur dioksida (SOX) dan nitrogen oksida (NOX), black carbon, dan particulate matter, yang sebenarnya jauh lebih berbahaya daripada CO2. Seperti contoh, emisi NOX membantu formasi gas rumah kaca ozon, di atmosfer rendah.
Di lapisan atmosfer tingkat tinggi atau stratosfer, gas ozon membantu melindungi bumi dan mengadang masuknya sinar ultraviolet. Tetapi, di atmosfer rendah, gas ozon dapat menyerap panas hingga 3.000 kali lebih kuat daripada CO2. Menurut studi yang dilakukan organisasi Oceana di tahun 2008, industri perkapalan memiliki andil atas 30 persen emisi NOX global.
Tanpa adanya regulasi yang jelas, emisi perkapalan diproyeksikan dapat meningkat secara drastis de¬ngan pangkat 2 sampai 3 di tahun-tahun ke depan. Lalu apa yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya hal ini? Apakah mungkin kita mengorbankan pertumbuhan ekonomi dunia untuk pengurangan dampak emisi?
Dilema ini telah menjadi perhatian The Chamber of Shipping sejak dulu, di mana industri perkapalan sepenuhnya berkomitmen mengurangi emisi karbon. Tetapi, secara absolut, emisi dari perkapalan akan terus meningkat, karena industri perkapalan merespons demand dari trading dunia. Semakin berkembang ekonominya, tentu demand untuk transpor juga meningkat. Pertumbuhan ekonomi ini pasti akan lebih cepat dari reduksi emisi yang bisa dicapai yang dikutip dari laporan International Shipping Forum, 24 Januari 2008.
Teknologi Kontrol
Sejatinya, dunia perkapalan dapat berkontribusi dalam upaya pencegahan. Pasalnya, sekarang ini sudah ada teknologi untuk me¬ngontrol buangan emisi, seperti yang sudah diaplikasikan sebuah perusahaan kapal pesiar internasional. Prinsip kerja perusahaan kapal pesiar tersebut memang patut dicontoh.
“Setiap hari perusahaan kami aktif melakukan riset dalam metode dan teknologi terbaru yang dapat membantu mengontrol kontribusi emisi kita. Tidak hanya untuk me¬ngurangi SOX, tetapi juga NOX, dan CO2, sebagai stra¬tegi kami untuk membantu mengurangi dampak operasi kami terhadap lingkungan” seperti yang diutarakan Jamie Sweeting, Global Chief Environment Officer dari ope¬rator kapal pesiar tersebut.
Mereka berkomitmen me¬ngurangi 30 persen kontribusi gas rumah kaca mereka. Hal ini dimulai dengan kerja sama mereka dengan perusahaan teknologi hijau yang memenangi Green Ship Award 2010, dalam pengadaan studi feasibility untuk pemasangan sistem pengontrol emisi CSNOx (karbon dioksida, sulfur dioksida, dan nitrogen oksida) Abatement Technology di salah satu kapal pesiarnya.
Pada prinsipnya, sistem CSNOx ini bekerja dalam dua tahap dengan menggunakan media air. Di tahap pertama, sulfur dioksida atau SOX dalam emisi diatasi terlebih dahulu, karena ion-ion yang negatively charged lebih reaktif dibandingkan NOX dan CO2. Di tahap pertama, air diolah dengan Sulphur Absorbtion Enhancer (SAE), agar daya serap sulfurnya lebih baik. Air yang sudah diolah tersebut kemudian disemburkan ke gas emisi dice¬robong asap, abator chamber.
Proses yang sama dilakukan di tahap kedua untuk menangkap nitrogen oksida dan karbon dioksida. Tetapi air tidak diolah dengan SAE, melainkan dengan Ultra Low Frequency untuk menaikkan kadar pH-nya. Air dengan pH tinggi tersebut di¬semburkan ke gas emisi yang sudah dihilangkan kadar sulfurnya di cerobong yang sama.
Air yang sudah dipakai untuk “mencuci” SOX, NOX, dan CO2 diendapkan di tank yang pada akhirnya dikembalikan ke laut. Polutan SOX dan gas rumah kaca, NOX, dan CO2, yang kompleks dipecah menjadi elemen dasar mereka, SO2 menjadi oksigen dan sulphate, yang terkandung di air laut secara alamiah, NOX menjadi nitrogen dan oksigen, dan CO2 menjadi carbon, bicarbonate, dan oksigen. Kadar pH air bekas cuci juga dipastikan di atas level 6.5.
Hasil kerja sistem CSNOx ini telah menarik perhatian banyak pemain di industri perkapalan maupun industri lainnya. Secara teori dan aplikasi, lingkup kecil tekno¬logi ini dapat membantu me¬ngurangi emisi. Dalam hal apa teknologi ini dapat mengejar perkembangan trading dan ekonomi dunia untuk pengurangan emisi, kita belum tahu jawabannya.
Tetapi bukankah lebih baik bila kita mempelajari dan mengaplikasikan teknologi ini dan lain sejenisnya, daripada hanya menonton bumi kita ini terdisintegrasi. Untuk itu, ini menjadi pertanyaan bersama, sejauh mana keprihatinan kita atas dampak emisi ini? Mari kita tunggu siapa yang akan menjadi pionir di Indonesia untuk mengurangi masalah emisi dan perubahan iklim yang kita hadapi bersama saat ini.
0 komentar:
Posting Komentar